Gaya Bicara di Radio: Roosevelt Style
Kategori: Artikel I’lam | 19-03-2009 | 07:49:45
Oleh ASM. ROMLI, Dosen LB Fidkom UIN Bandung
RADIO is conversational. Radio itu obrolan. Maka, gaya biciara di radio harus bergaya ngobrol, layaknya dua orang teman sedang ngobrol. Radio is personal. Radio itu media yang bersifat pribadi. Karenanya, bicara di radio menggunakan gaya komunikasi antarpribadi, interpersonal communication, menghindari gaya bicara formal.
Bicara di radio termasuk Public Speaking. Hanya pendengarnya tidak tampak di depan mata, invisibel. Lagi pula, audiens harus diasumsikan satu orang, hanya satu pendengar, dan dipandang sebagai teman baik sehingga gaya bicara kita pun akan akrab, hangat, dan ramah. Maka, saat berbicara di radio, seperti halnya penyiar (announcer), gunakan gaya bahasa obrolan, layaknya ngobrol dengan teman dekat dalam keseharian.
Kiat berikut ini membantu kita untuk menjadi pembicara yang baik di radio, khususna Anda, para caleg atau tim sukses caleg yang berkampanye di radio, sebagaimana dilakukan Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt (FDR), dalam sebuah siaran radionya yang terkenal dengan “Fireside Chats”. Gaya bicara atau kampanye radio Roosevelt dipandang sangat baik dan efektif. Tekniknya lalu diteliti oleh sekretarisnya, Frances Perkins.
Menurut Susan Berkeley yang menyajikan teknik ini dalam artikelnya, “How to Get Any Audience to Love and Admire You”, meskipun ini teknik khusus untuk berbicara di radio atau televisi –yang disebutnya Six Lessons Learned from FDR’s Fireside Chats– tapi dapat digunakan saat berbicara di mana saja –di depan audience, di telepon, atau tatap muka.
Pertama, FDR memvisualkan atau memperlakukan pendengar sebagai pribadi-pribadi, tidak pernah sebagai sekumpulan orang banyak (as individuals, never as a mass of people). Ia membayangkan bahwa hanya satu orang yang menjadi pendengarnya, sebagai teman bicara dan teman baik.
FDR memvisualkan pendengarnya sebagai teman yang bersamanya di meja makan malam (the dinner table). Meja makan malam merupakan tempat menciptakan suasana santai dan akrab untuk berbicara.
FDR menyadari wajah dan tangan pendengar, juga pakaian dan rumahnya. Kian spesifik berpikir tentang pendengar, akan makin baik kontak Anda dengan mereka. The more spesific you are about your listener, the more you will connect.
Ekspresi suara dan wajah FDR ketika berbicara merupakan ekspresi seorang teman akrab (an intimate friend). Nada suara Anda sangat berhubungan dengan ekspresi wajah. Senyum akan menghangatkan suara Anda, membuatnya terdengar hangat dan inviting.
Ketika berbicara, kepala FDR mengangguk dan tangannya bergerak secara alamiah, gerakan tubuh yang sederhana (simple gestures). Untuk menjadi komunikator yang powerful, Anda harus menggunakan seluruh tubuh. Gerakan dan bahasa tubuh (body language) menambah energi dan semangat bagi pembicaraan Anda.
Wajah FDR penuh senyum dan ceria layaknya duduk di depan teman di meja makan malam bersama kawan karib atau teman kencan. Senyum adalah salah satu alat paling berpengaruh bagai pendengar Anda meskipun mereka tidak melihat Anda. A smile is one of the most powerful tools you have to create rapport with your listener, even when the can’t see you! Maka, senyumlah ketika berbicara, bahkan ketika Anda tidak mau melakukannya sekalipun.
Para caleg atau jurukampanye, khususnya caleg yang memenuhi kriteria fatwa MUI –beriman, bertakwa, jujur, amanah, cerdas, dan aspiratif, gunakanlah gaya FDR tadi untuk kampanye di radio. Semoga sukses… Good luck! Jangan gunakan gaya orator di panggung terbuka. Para ustadz yang berceramah di radio, juga demikian, gunakanlah gaya bicara FDR di atas. Jangan kayak lagi ceramah di podium atau di atas mimbar. Ingat, radio is conversational and personal! Wasalam. (www.romeltea.com).*
Taken from buku “Lincah Menulis Pandai Bicara: Panduan Menulis dan Public Speaking”, karya ASM. Romli, penerbit Nuansa Bandung. Pemesanan hubungi Tlp. 022-70775264, SMS 0818638038.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar